Selasa, 23 Juni 2009

Maki kita belajar Zuhud kepada Dunia

Zuhud

Kata zuhud sering disebut-sebut ketika kita mendengar nasehat dan seruan agar mengekang ketamakan terhadap dunia dan mengejar kenikmatannya yang fana dan pasti sirna, dan agar jangan melupakan kehidupan akhirat yang hakiki setelah kematian. Hal ini sebagaimana peringatan Allah tentang kehidupan dunia yang penuh dengan fatamorgana dan berbagai keindahan yang melalaikan dari hakikat kehidupan yang sebenarnya.

Allah berfirman,

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)

Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu, batil, dan sekadar permainan. Yang dimaksud sekadar permainan adalah sesuatu yang tiada bermanfaat dan melalaikan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa dunia adalah perhiasan, dan orang-orang yang terfitnah dengan dunia menjadikannya sebagai perhiasannya dan tempat untuk saling bermegah-megahan dengan kenikmatan yang ada padanya berupa anak-anak, harta-benda, kedudukan dan yang lainnya sehingga lalai dan tidak beramal untuk akhiratnya.

Allah menyerupakan kehancuran dunia dan kefanaannya yang begitu cepat dengan hujan yang turun ke permukaan bumi. Ia menumbuhkan tanaman yang menghijau lalu kemudian berubah menjadi layu, kering dan pada akhirnya mati. Demikianlah kenikmatan dunia, yang pasti pada saatnya akan punah dan binasa. Maka barangsiapa mengambil pelajaran dari permisalan yang disebutkan di atas, akan mengetahui bahwa dunia ibarat es yang semakin lama semakin mencair dan pada akhirnya akan hilang dan sirna. Sedangkan segala apa yang ada di sisi Allah adalah lebih kekal, dan akhirat itu lebih baik dan utama sebagaimana lebih indah dan kekalnya permata dibandingkan dengan es. Apabila seseorang mengetahui dengan yakin akan perbedaan antara dunia dan akhirat dan dapat membandingkan keduanya, maka akan timbul tekad yang kuat untuk menggapai kebahagian dunia akhirat.

Definisi Zuhud

Banyak sekali penjelasan ulama tentang makna zuhud. Umumnya mengarah kepada makna yang hampir sama. Di sini akan disampaikan sebagian dari pendapat tersebut.

Makna secara bahasa:

Zuhud menurut bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan karena (seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan “syaiun zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan hina”.

Makna secara istilah:

Ibnu Taimiyah mengatakan – sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim – bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.

Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam kebenaran.

Di sini zuhud ditafsirkan dengan tiga perkara yang semuanya berkaitan dengan perbuatan hati:

1. Bagi seorang hamba yang zuhud, apa yang ada di sisi Allah lebih dia percayai daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Hal ini timbul dari keyakinannya yang kuat dan lurus terhadap kekuasaan Allah. Abu Hazim az-Zahid pernah ditanya, “Berupa apakah hartamu?” Beliau menjawab, “Dua macam. Aku tidak pernah takut miskin karena percaya kepada Allah, dan tidak pernah mengharapkan apa yang ada di tangan manusia.” Kemudian beliau ditanya lagi, “Engkau tidak takut miskin?” Beliau menjawab, “(Mengapa) aku harus takut miskin, sedangkan Rabb-ku adalah pemilik langit, bumi serta apa yang berada di antara keduanya.”
2. Apabila terkena musibah, baik itu kehilangan harta, kematian anak atau yang lainnya, dia lebih mengharapkan pahala karenanya daripada mengharapkan kembalinya harta atau anaknya tersebut. Hal ini juga timbul karena keyakinannya yang sempurna kepada Allah.
3. Baginya orang yang memuji atau yang mencelanya ketika ia berada di atas kebenaran adalah sama saja. Karena kalau seseorang menganggap dunia itu besar, maka dia akan lebih memilih pujian daripada celaan. Hal itu akan mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran karena khawatir dicela atau dijauhi (oleh manusia), atau bisa jadi dia melakukan kebatilan karena mengharapkan pujian. Jadi, apabila seorang hamba telah menganggap sama kedudukan antara orang yang memuji atau yang mencelanya, berarti menunjukkan bahwa kedudukan makhluk di hatinya adalah rendah, dan hatinya dipenuhi dengan rasa cinta kepada kebenaran.

Hakekat zuhud itu berada di dalam hati, yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan ketamakan terhadap dunia dari hati seorang hamba. Ia jadikan dunia (hanya) di tangannya, sementara hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah dan akhirat.

Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total dan menjauhinya. Lihatlah Nabi, teladan bagi orang-orang yang zuhud, beliau mempunyai sembilan istri. Demikian juga Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, sebagai seorang penguasa mempunyai kekuasaan yang luas sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Para Shahabat, juga mempunyai istri-istri dan harta kekayaan, yang di antara mereka ada yang kaya raya. Semuanya ini tidaklah mengeluarkan mereka dari hakekat zuhud yang sebenarnya.

Tingkatan Zuhud

Ada beberapa tingkatan zuhud sesuai dengan keadaan setiap orang yang melakukannya, yaitu:

1. Berusaha untuk hidup zuhud di dunia; sementara ia menghendaki (dunia tersebut), hati condong kepadanya dan selalu menoleh ke arahnya, akan tetapi ia berusaha melawan dan mencegahnya.
2. Orang yang meninggalkan dunia dengan suka rela, karena di matanya dunia itu rendah dan hina, meskipun ada kecenderungan kepadanya. Dan ia meninggalkan dunia tersebut (untuk akhirat), bagaikan orang yang meninggalkan uang satu dirham untuk mendapatkan uang dua dirham (maksudnya balasan akhirat itu lebih besar daripada balasan dunia).
3. Orang yang zuhud dan meninggalkan dunia dengan hati yang lapang. Ia tidak melihat bahwa dirinya meninggalkan sesuatu apapun. Orang seperti ini bagaikan seseorang yang hendak masuk ke istana raja, terhalangi oleh anjing yang menjaga pintu, lalu ia melemparkan sepotong roti ke arah anjing tersebut sehingga membuat anjing tersebut sibuk (dengan roti tadi), dan ia pun dapat masuk (ke istana) untuk menemui sang Raja dan mendapatkan kedekatan darinya. Anjing di sini diumpamakan sebagai syaitan yang berdiri di depan pintu (kerajaan/surga) Allah, yang menghalangi manusia untuk masuk ke dalamnya, sementara pintu tersebut dalam keadaan terbuka. Adapun roti diumpamakan sebagai dunia, maka barangsiapa meninggalkannya niscaya akan memperoleh kedekatan dari Allah.

Hal-Hal yang Mendorong untuk Hidup Zuhud

1. Keimanan yang kuat dan selalu ingat bagaimana ia berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat guna mempertanggung-jawabkan segala amalnya, yang besar maupun yang kecil, yang tampak ataupun yang tersembunyi. Ingat! betapa dahsyatnya peristiwa datangnya hari kiamat kelak. Hal itu akan membuat kecintaannya terhadap dunia dan kelezatannya menjadi hilang dalam hatinya, kemudian meninggalkannya dan merasa cukup dengan hidup sederhana.

2. Merasakan bahwa dunia itu membuat hati terganggu dalam berhubungan dengan Allah, dan membuat seseorang merasa jauh dari kedudukan yang tinggi di akhirat kelak, dimana dia akan ditanya tentang kenikmatan dunia yang telah ia peroleh, sebagaimana firman Allah,

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takaatsur: 6)

Perasaan seperti ini akan mendorong seorang hamba untuk hidup zuhud.

3. Dunia hanya akan didapatkan dengan susah payah dan kerja keras, mengorbankan tenaga dan pikiran yang sangat banyak, dan kadang-kadang terpaksa harus bergaul dengan orang-orang yang berperangai jahat dan buruk. Berbeda halnya jika menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah; jiwa menjadi tentram dan hati merasa sejuk, menerima takdir Allah dengan tulus dan sabar, ditambah akan menerima balasan di akhirat. Dua hal di atas jelas berbeda dan (setiap orang) tentu akan memilih yang lebih baik dan kekal.

4. Merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak menyebutkan tentang kehinaan dan kerendahan dunia serta kenikmatannya yang menipu (manusia). Dunia hanyalah tipu daya, permainaan dan kesia-siaan belaka. Allah mencela orang-orang yang mengutamakan kehidupan dunia yang fana ini daripada kehidupan akhirat, sebagaimana dalam firman-Nya,

“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naaziat: 37-39)

Dalam ayat yang lainnya Allah berfirman,

“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’laa: 16-17)

Semua dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah, mendorong seorang yang beriman untuk tidak terlalu bergantung kepada dunia dan lebih mengharapkan akhirat yang lebih baik dan lebih kekal.

Zuhud yang Bermanfaat dan Sesuai Dengan Syariat

Zuhud yang disyariatkan dan bermanfaat bagi orang yang menjalaninya adalah zuhud yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat demi menggapai kehidupan akhirat. Adapun sesuatu yang memberi manfaat bagi kehidupan akhirat dan membantu untuk menggapainya, maka termasuk salah satu jenis ibadah dan ketaatan. Sehingga berpaling dari sesuatu yang bermanfaat merupakan kejahilan dan kesesatan sebagaimana sabda Nabi,

“Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim hadits no. 4816)

Yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah beribadah kepada Allah, menjalankan ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya. Dan semua yang menghalangi hal ini adalah perkara yang mendatangkan kemudharatan dan tidak bermanfaat. Yang paling berguna bagi seorang hamba adalah mengikhlaskan seluruh amalnya karena Allah. Orang yang tidak memperhatikan segala yang dicintai dan dibenci oleh Allah dan rasul-Nya akan banyak menyia-nyiakan kewajiban dan jatuh ke dalam perkara yang diharamkan; meninggalkan sesuatu yang merupakan kebutuhannya seperti makan dan minum; memakan sesuatu yang dapat merusak akalnya sehingga tidak mampu menjalankan kewajiban; meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar; meningalkan jihad di jalan Allah karena dianggap mengganggu dan merugikan orang lain. Pada akhirnya, orang-orang kafir dan orang-orang jahat mampu menguasai negeri mereka dikarenakan meninggalkan jihad dan amar ma’ruf -tanpa ada maslahat yang nyata-.

Allah berfirman,

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.’” (QS. Al-Baqarah: 217)

Allah menjelaskan dalam ayat ini, walaupun membunuh jiwa itu merupakan keburukan, akan tetapi fitnah yang ditimbulkan oleh kekufuran, kezaliman dan berkuasanya mereka (orang-orang kafir) lebih berbahaya dari membunuh jiwa. Sehingga menghindari keburukan yang lebih besar dengan melakukan keburukan yang lebih ringan adalah lebih diutamakan. Seumpama orang yang tidak mau menyembelih hewan dengan dalih bahwa perbuatan tersebut termasuk aniaya terhadap hewan. Orang seperti ini adalah jahil, karena hewan tersebut pasti akan mati. Disembelihnya hewan tersebut untuk kepentingan manusia adalah lebih baik daripada mati tanpa mendatangkan manfaat bagi seorang pun. Manusia lebih sempurna dari hewan, dan suatu kebaikan tidak mungkin bisa sempurna untuk manusia kecuali dengan memanfaatkannya, baik untuk dimakan, dijadikan sebagai kendaraan atau yang lainya. Yang dilarang oleh Nabi adalah menyiksanya dan tidak menunaikan hak-haknya yang telah tetapkan oleh Allah.

Nabi bersabda,

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu, maka jikalau kalian membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan baik, hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim hadits no. 3615)

Zuhud yang Bid’ah dan Menyelisihi Syari’at

Zuhud yang menyelisihi Sunnah tidak ada kebaikan sama sekali di dalamnya. Karena ia menganiaya hati dan membutakannya, membuat agama menjadi buruk dan hilang nilai-nilai kebaikannya yang diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, menjauhkan manusia dari agama Allah, menghancurkan peradaban, dan memberi kesempatan bagi musuh-musuh Islam untuk menguasai mereka; merendahkan kemuliaan seseorang serta menjadikan seorang hamba menyembah kepada selain Allah. Berikut ini beberapa perkataan para penyeru zuhud yang menyelisihi petunjuk Nabi.

Perkataan Junaid, salah seorang penyeru zuhud yang menyelisihi syariat, “Saya senang kalau seorang pemula dalam kezuhudan tidak menyibukkan diri dengan tiga perkara agar tidak berubah keadaannya, yaitu bekerja untuk mendapatkan rezeki, menuntut ilmu hadist, dan menikah. Dan lebih aku senangi jika seorang sufi tidak membaca dan menulis agar niatnya lebih terarah.” (Kitab Quatul-Qulub 3/135, kitab karya Junaid).

Perkataan Abu Sulaiman ad-Darani, “Jika seseorang telah menuntut ilmu, pergi mencari rezeki atau menikah, maka dia telah bersandar kepada dunia.” (Kitab Al-Futuhat Al-Makiyah, 1/37).

Padahal telah dimaklumi bahwa semua peradaban di dunia ini tidak mungkin tegak dan berkembang kecuali dengan tiga perkara, yaitu dengan bekerja, mencari ilmu, dan menikah demi meneruskan keturunan manusia. Rasulullah sendiri telah memerintahkan kita bekerja mencari rezeki sebagaimana dalam sabda beliau,

“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya nabi Allah, Dawud, makan dari hasil kerja tangannya.” (HR. Bukhari, III/8 hadits no. 1930)

Dan Rasulullah telah memerintahkan umatnya untuk menikah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan (lahir dan batin) untuk menikah, maka hendaklah dia menikah. Sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Sedangkan untuk yang tidak mampu, hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat menjaganya (yaitu benteng nafsu).” (HR. Bukhari, VI/117)

Beliau juga memerintahkan kaum muslimin menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun dunia, sebagaimana sabdanya,

“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (Ibnu Majah hadits no. 220. Hadist Sahih, lihat Kitab Al-Jami’ As-Shahih no. 3808 karya Al-Bani)

Wajib di sini adalah dalam menuntut ilmu agama. Adapun ilmu duniawi, tidak ada seorang pun yang berselisih tentang pentingnya ilmu tersebut, baik berupa ilmu kesehatan, ilmu perencanaan maupun ilmu lainnya yang manusia tidak mungkin terlepas darinya. Terpuruknya kaum muslimin ke dalam jurang kehinaan dan kemunduran pada masa sekarang ini tidak lain akibat kelalaian mereka dalam menuntut ilmu agama yang benar, merasa cukup dengan ilmu duniawi yang mereka ambil dari musuh-musuh mereka dalam berbagai macam aspek kehidupan, baik yang besar maupun yang kecil, banyak maupun sedikit, yang semuanya berujung kepada kebinasaan, hilangnya agama, akhlak, dan hal-hal utama lainnya.

Khatimah

Sebagai penutup tulisan ini, marilah kita lihat bagaimana kehidupan generasi pertama dan terbaik dari umat ini, generasi sahabat yang hidup di bawah naungan wahyu Ilahi dan didikan Nabi. Salah seorang tokoh generasi tabi’in, Imam al-Hasan al-Bashri berkata, “Aku telah menjumpai suatu kaum dan berteman dengan mereka. Tidaklah mereka itu merasa gembira karena sesuatu yang mereka dapatkan dari perkara dunia, juga tidak bersedih dengan hilangnya sesuatu itu. Dunia di mata mereka lebih hina daripada tanah. Salah seorang di antara mereka hidup satu atau dua tahun dengan baju yang tidak pernah terlipat, tidak pernah meletakkan panci di atas perapian, tidak pernah meletakkan sesuatu antara badan mereka dengan tanah (beralas) dan tidak pernah memerintahkan orang lain membuatkan makanan untuk mereka. Bila malam tiba, mereka berdiri di atas kaki mereka, meletakkan wajah-wajah mereka dalam sujud dengan air mata bercucuran di pipi-pipi mereka dan bermunajat kepada Allah agar melepaskan diri mereka dari perbudakan dunia. Ketika beramal kebaikan, mereka bersungguh-sungguh dengan memohon kepada Allah untuk menerimanya. Apabila berbuat keburukan, mereka bersedih dan bersegera meminta ampunan kepada Allah. Mereka senantiasa dalam keadaan demikian. Demi Allah, tidaklah mereka itu selamat dari dosa kecuali dengan ampunan Allah. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada mereka.” Wallahu A’lam.

Referensi:
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/zuhud.html
dan beberapa sumber

Jumat, 12 Juni 2009

Sekilas Tentang Negara Islam


Apa itu Khilafah?

Khilafah merupakan sistem pemerintahan dalam Islam yang digali dari sumber hukum Islam. Khilafah bertanggungjawab atas penerapan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Khilafah memberlakukan aturan-aturan hukum pidana Islam dalam masalah peradilan, pemerintahan, ekonomi, sistem sosial, pendidikan, dan kebijakan luar negeri. Khilafah bertanggungjawab untuk menyampaikan dan mempropagandakan Islam ke seluruh dunia melalui kebijakan luar negerinya. Khilafah sangat berbeda dari model pemerintahan yang lain seperti demokrasi, teokrasi atau monarki.
Khilafah akan melakukan rekonsiliasi antara seluruh umat Islam dan akan menghapus segala bentuk kesukuan dan kebangsaan. Negara Khilafah bukan negara untuk faksi atau kelompok orang tertentu. Khilafah akan memandang seluruh warganegaranya, baik yang Muslim maupun yang non-Muslim, dengan pandangan yang sama. Khilafah akan menerapkan Islam sesuai dengan dalil-dalil terkuat dari sumber hukum Islam. Khilafah bukanlah negara untuk etnis atau ras tertentu. Setiap orang, apakah dia Arab atau non-Arab, putih atau hitam, memiliki kedudukan yang sama sebagai warganegara. Meskipun Khilafah adalah Negara Islam akan tetapi Khilafah tidak hanya mengurusi kaum Muslim, tetapi juga setiap orang yang menyandang status warganegara Negara Islam, baik dia Muslim ataupun non-Muslim. Saat mengurusi kepentingan warganegara yang non-Muslim, Negara Islam berkewajiban memperlakukan mereka sebagai warganegara dan bukan sebagai ‘etnis minoritas’.

Di mana Khilafah sekarang?
Saat ini Khilafah tidak eksis. Khilafah terakhir di Turki diruntuhkan oleh Mustafa Kemal setelah Perang Dunia I. Pada 24 Juli 1924, saat mengomentari keruntuhan Khilafah, Lord Curzon, menteri luar negeri Inggris saat itu, mengatakan kepada Majelis Rendah, ” … Turki (sebagai pusat Khilafah) telah mati dan tidak akan pernah bangkit kembali karena kita telah menghancurkan kekuatan moralnya, Khilafah dan Islam.”

Bagaimana dengan Arab Saudi, Iran, Pakistan dan Sudan?

Untuk bisa disebut sebagai Negara Islam, setiap pasal dalam konstitusi negara, setiap aturan dan perundang-undangan, harus berasal dari hukum Islam. Negara-negara yang Anda sebutkan itu sama sekali tidak memenuhi kriteria itu. Di negara-negara tersebut, hukum Islam hanya sekadar label sebagai sumber legislasi negara tersebut, dengan segala bentuk legislasi sekular dan adat istiadat yang ada, sementara konstitusi lebih condong pada sistem demokrasi, sosialisme, kapitalisme dan semacamnya. Semua itu adalah konsep-konsep yang tidak bersumber dari Islam dan berasal dari filosofi dasar yang sangat berbeda. Karena itu, tidak bisa diklaim bahwa setiap negara Muslim adalah representasi dari Islam dan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islamiyah.

Siapa yang akan menjadi penguasa dalam sistem Khilafah dan apakah ia akan memiliki akuntabilitas?

Khalifah memimpin negara berdasarkan perintah Allah swt sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Rakyat memilih dan menunjuk Khalifah. Sebagai warganegara Negara Islam, baik pria maupun wanita, Muslim ataupun non-Muslim, Anda bisa mendatangi Khalifah untuk alasan apapun, entah mendorongnya agar takut kepada Allah swt atau meminta hak-hak Anda dipenuhi. Rakyat wajib mengganti Khalifah jika ia menerapkan sistem selain Islam.

Bagaimana Khilafah memperlakukan non-Muslim?

Seorang ulama salaf, Imam Qarafi, mengatakan, “Menjadi tanggung jawab kaum Muslim terhadap orang-orang Zhimmi [warganegara yang non-Muslim] untuk memelihara mereka, memenuhi kebutuhan rakyat miskin, memberi makan orang-orang yang kelaparan, menyediakan pakaian, menyapa mereka dengan baik dan bahkan menoleransi kesalahan mereka meskipun datangnya dari seorang tetangga, dan meskipun kaum Muslim berada pada posisi tangan di atas [sebagai pemberi]. Kaum Muslim juga harus menasehati mereka dalam urusan mereka dan melindungi mereka dari siapapun yang berusaha menyakiti mereka atau keluarganya, mencuri harta mereka atau siapapun yang melanggar hak-hak mereka.”
Banyak non-Muslim yang pernah hidup dengan kaum Muslim di bawah naungan Islam selama hampir tiga belas abad. Selama periode itu orang-orang non-Muslim memiliki standar hidup yang sama. Mereka menikmati hak-hak, kesejahteraan, kebahagiaan, ketentraman dan keamanan yang sama.

Bagaimana posisi wanita dalam Khilafah?

Dalam sistem Khilafah, wanita memiliki peran aktif untuk membangun negara yang tidak hanya memiliki karakter moral yang unggul, tetapi juga secara ekonomi sejahtera dan maju secara teknologi. Khilafah wajib memberikan pendidikan gratis kepada anak laki-laki dan perempuan pada tingkat dasar dan menengah serta memberikan pendidikan gratis pada level pendidikan tinggi untuk bidang-bidang tertentu seperti sains dan kesehatan. Ini akan membuat wanita bisa menjalani profesi sebagai ahli kesehatan, insinyur, sains, arsitektur, akademisi dan semacamnya. Wanita diperbolehkan untuk berdagang, menginvestasikan harta, memiliki harta sendiri, menjalankan usaha dan menjadi pegawai atau atasan. Wanita bisa, misalnya, menduduki jabatan administratif dalam negara atau ditunjuk menjadi hakim, menyewa properti dan melakukan transaksi sosial lainnya. Selain itu, wanita akan menjalani peran vital sebagai istri dan ibu, menciptakan kehidupan keluarga yang tentram, merawat anak-anak dan keluarga dan membina generasi masa depan. Wanita memiliki peran politik yang aktif dan juga punya suara politik yang kuat dalam mengingatkan penguasa atas setiap bentuk ketidakadilan dan korupsi di masyarakat serta memelihara kepentingan komunitasnya.

Bagaimana interaksi pria dan wanita dalam sistem Khilafah?

Pria dan wanita berinteraksi dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan publik mereka tapi tetap dalam koridor sistem sosial Islam yang mengatur hubungan antara pria dan wanita. Ini menciptakan lingkungan yang memfasilitasi kerja sama lintas jender dan membuat mereka bisa memenuhi hak dan kewajiban publik mereka tanpa mempengaruhi kondisi moral negara. Dengan begitu kehormatan dan kesucian setiap orang akan terlindungi dan aspek seksual dari hubungan pria dan wanita terbatas pada pernikahan. Misalnya, Islam telah menentukan pakaian publik khusus untuk wanita Muslimah serta mewajibkan mereka untuk menyembunyikan kecantikan mereka dari hadapan kaum pria yang bukan mahramnya dan Islam juga melarang pria dan wanita berkhalwat. Islam melarang hubungan yang bebas antara pria dan wanita yang tidak punya hubungan darah, serta segala bentuk perbuatan yang bisa menjurus pada perzinaan. Wanita memiliki kedudukan terhormat dalam sistem Khilafah dan karena itu tidak akan ada tindakan apapun yang diperbolehkan untuk mengkompromikan masalah ini.

Mengapa wanita tidak bisa menjadi penguasa dalam sistem Khilafah?

Konsep ini bersumber dari dalil-dalil Islam yang melarang wanita memegang jabatan kekuasaan. Orang-orang yang gagal mengkaji Islam secara mendalam mengklaim bahwa ini terjadi karena Islam memandang wanita secara fisik tidak mampu memangku jabatan tersebut dan karena itu mereka menganggap Islam mendiskriminasikan wanita. Islam tidak memberikan alasan spesifik tentang hal ini. Islam hanya melarang posisi-posisi tersebut untuk diemban oleh wanita.
Kekuasaan dalam Islam bukanlah posisi yang bergengsi, melainkan jabatan yang mengandung tanggung jawab. Dalam Islam, kedudukan sesorang tidak ditakar dari jabatan atau tanggung jawabnya, tetapi dari bagaimana ia memenuhi segala kewajibannya. Karena itu, seorang penguasa tidak otomatis lebih superior ketimbang seorang ibu. Masing-masing memiliki kewajiban yang harus dipenuhi untuk menjamin kemakmuran masyarakat.
Di dalam Khilafah, wanita boleh memilih penguasa. Secara historis, bahkan wanita turut hadir dalam delegasi pertama yang memberikan bai’at kepada Nabi Muhammad saw, menerimanya sebagai pemimpin pertama Negara Islam. Wanita boleh masuk ke dalam Majelis Ummah yang memberikan nasehat kepada penguasa dalam beragam urusan. Wanita wajib terlibat dalam kehidupan politik masyarakat Islam dan mengingatkan penguasa jika mereka melihat adanya korupsi atau ketidakadilan yang dilakukan oleh negara. Wanita juga bisa dipilih menjadi pejabat negara untuk posisi-posisi yang non-kekuasaan.

Akankah Khilafah menerima inovasi ilmiah dan teknologi?

Ketika Islam datang untuk pertama kalinya sebagai sistem kehidupan, Nabi Muhammad saw mengirim beberapa orang Muslim dalam misi khusus ke Syam (wilayah yang kini menjadi Suriah, Yordania, dan Palestina). Pada saat itu Syam tidak diperintah oleh sistem Islam dan justru dikuasai oleh negara adikuasa saat itu, Romawi, yang notabene Kristen. Orang-orang Romawi sangat terampil dalam teknologi militer dan telah mengembangkan dua alat pelontar (cikal bakal meriam). Kaum Muslim juga memperoleh teknologi parit dari negara adikuasa kedua saat itu, Persia, melalui Salman al-Farisi dan teknologi itu dimanfaatkan pada saat Perang Khandaq. Ini diperbolehkan dalam Islam karena kaum Muslim tidak mengambil sistem hidup dari Romawi dan Persia. Kaum Muslim tidak mengambil keyakinan, nilai dan sistem kehidupan Romawi dan Persia. Kaum Muslim hanya mengambil teknologi mereka, yang secara faktual tidak berasal dari keyakinan tertentu dan karena itu terbuka bagi seluruh umat manusia untuk menemukannya, dengan seizin Allah swt. Muhammad saw memberikan teladan bahwa mengadopsi teknologi adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam, tapi dengan catatan bahwa teknologi itu hanya boleh dimanfaatkan untuk sesuatu yang diperbolehkan menurut hukum Islam. Maka, pisau bedah boleh digunakan untuk menyembuhkan, tapi tidak untuk melakukan aborsi terhadap bayi yang tak berdosa. Televisi, internet dan DVD bisa dimanfaatkan untuk mempropagandakan kebenaran atau untuk tujuan-tujuan pendidikan, tetapi tidak boleh digunakan untuk mengeksploitasi wanita sebagai objek materi.

Apakah Khilafah sistem monarki?

Sistem monarki bukanlah sistem Islam dan Islam tidak memperbolehkannya, entah raja yang hanya menjadi simbol tapi tak berkuasa, seperti dalam kasus Inggris dan Spanyol, karena Khalifah bukanlah simbol. Khalifah adalah penguasa dan pelaksana hukum-hukum Allah swt yang bertindak untuk kepentingan umat; Demikian pula jika raja menjadi kepala negara dan penguasa sekaligus, seperti dalam kasus Arab Saudi dan Yordania. Ini karena Khalifah tidak mengenal sistem pewarisan kekuasaan seperti yang terjadi dalam sistem monarki. Khalifah dipilih dan diberi bai’at. Islam tidak memperkenankan sistem pewarisan. Khalifah tidak memiliki hak-hak istimewa dibandingkan warganegara yang lain dan Khalifah tidak berkedudukan di atas hukum seperti halnya raja yang kebal hukum. Khalifah tunduk pada hukum Allah swt dan bisa dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakan yang dilakukannya.

Apakah Khilafah sistem yang imperialis?

Wilayah-wilayah yang diperintah oleh Islam - meskipun terdiri atas beragam ras dan terhubung ke satu tempat yang menjadi sentralnya - tidak diperintah berdasarkan sistem imperialis, tetapi oleh sistem yang sangat bertentangan dengan sistem imperialis. Sistem imperialis tidak memperlakukan kelompok-kelompok ras secara setara, tetapi memberikan hak istimewa dalam pemerintahan, keuangan dan ekonomi kepada ras tertentu.
Sistem pemerintahan Islam memberikan kesetaraan antara rakyat di seluruh wilayah negara. Setiap non-Muslim yang menjadi warganegara memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warganegara yang Muslim. Mereka memperoleh keadilan yang sama dan mereka juga tunduk pada hukum yang sama. Selain itu, setiap warganegara, tanpa memandang keyakinannya, memiliki hak-hak yang bahkan tidak dimiliki oleh seorang Muslim di luar negeri yang tidak memiliki status warganegara. Dengan konsep kesetaraan seperti ini, sistem Islam sangat berbeda dengan sistem imperial. Sistem Islam tidak membeda-bedakan wilayahnya menjadi wilayah koloni, wilayah eksploitasi, atau wilayah sumber kekayaan yang diperas untuk kepentingan pusat. Khilafah memandang semua wilayah secara adil, tidak peduli betapa jauh jarak wilayah itu, dan tidak jadi soal betapa berbedanya ras di sana. Khilafah menganggap setiap jengkal wilayah sebagai bagian integral dari negara dan warganegara di setiap wilayah itu memiliki hak yang sama dengan warganegara yang ada di wilayah pusat kekuasaan. Khilafah juga menjadikan otoritas kekuasaan, sistem dan perundang-undangannya berlaku sama di seluruh wilayah.

referensi : dari berbagai sumber/indoforum/dll